Senin, 11 Februari 2008

WORO-WORO, PERHATIAN, ATTENTION PLEASE...!!!

Mengurusi banyak blog bikin saya pusing. Kadang malah sudah susah-susah bikin blog, tapi posting tulisan saja nggak pernah. Ya gitu deh, blognya dibiarin kosong melompong. Supaya nggak dibilang kemaruk, maka saya berinisiatif untuk mengurusi satu blog saja. Kalau nggak keberatan, silahkan mampir kerumah saya yang baru :

http://arifpribadi.blogdetik.com/


Silahkan masuk, nggak usah malu-malu...

Minggu, 20 Januari 2008

[Basa-Basi]: Elite-nya Tahu Tempe

Siapa bilang tahu-tempe makanan orang kampung? Buktinya sekarang banyak orang yang mengeluh karena susahnya mencari makanan yang berbahan dasar kedelai itu. Dua personil AB Three yang datang bersama suaminya di acara Empat Mata bahkan terang-terangan mengaku kangen dengan makanan yang sudah sulit dicari di Jakarta itu. Dan beberapa kawan saya juga suka nyindir, "Baru kali ini saya lihat pengusaha tahu-tempe dan pedagang-pedagangnya melakukan aksi demo. Khan biasanya yang suka ribut-ribut demo, mahasiswa."

Kawan saya yang perawakannya kurus dengan rambut gondrong punya pendapat lain lagi. "Tahu-tempe itu dari dulu makanan mahal. Buka cuma itu, tahu-tempe juga makanan yang bisa bikin orang sukses. Buktinya Pak Harto yang sejak kecil hobi banget makan tahu-tempe bisa jadi Presiden sampai 32 tahun," katanya serius.

Saya sendiri dari dulu juga ngefans sama tempe. Dibandingkan tahu, saya lebih condong ke tempe yang teksturenya kasar dan bentuknya padat. Saya kurang suka saja dengan tahu, yang lembek, basah, dan sangat tidak bergairah. Kadang-kadang saya juga heran sendiri, kenapa ketika ada orang yang mentalnya sedang down, selalu disebut mental tempe. Kenapa nggak mental tahu aja yang jelas-jelas lebih lembek dan tidak bergairah.

"Oalah mas-mas, mau tempe kek, mau tahu kek, sama aja kalo dicelup air juga lembek, nggak tahan. Coba daging, biar dimasukin air, kalau bukan air panas ya nggak bakalan empuk. Makanya disebut mental tempe, masa gitu aja nggak tau sich," ujar temen saya yang kepalanya botak tiba-tiba.

"Itu khan kalau dicelup air. Coba kalau nggak dicelup, pasti tempe juga nggak kalah atosnya sama daging," jawab saya nggak mau kalah.

Tapi yang pasti, berkat harga kedelai yang sekarang melangit, saya juga merasa kehilangan dengan menurunnya kualitas tahu-tempe yang sekarang dijual. Makanan ini sekarang, sudah tuipiiiisss, juga lumayan mahal. Saya jadi heran, kalau denger lagunya Koes Plus, bukannya negara kita ini negara yang suburnya minta ampun. Kayu saja kalau ditanam "katanya" bisa jadi tanaman, tapi kok masalah kedelai saja harus impor dari Amerika. Konon kabarnya, harga kedelai impor dari negaranya si-Bush jauh lebih murah dari kedelainya orang Indonesia. Makanya para petani kita males nanam kedelai, karena harga jualnya kalah bersaing.

Nah, kalau akar permasalahan dari langkanya kedelai ini sudah ditemukan, saya sangat berharap pemerintah segera mengambil tindakan. Tindakannya seperti apa, tentu bukan urusan saya. Karena sebagai warga negara yang baik dan membayar pajak, saya sudah menggaji Menteri Perdagangan untuk mengurusi masalah ini. Sebagai negara yang di era Soeharto disebut dengan lantang sebagai negara Agraris, saya malu kalau urusan tahu-tempe saja sampai ada yang berdemo di Istana Negara.

Jumat, 18 Januari 2008

[Basa-Basi]: Asiknya Jadi Bangsa Bar-Bar

Baru-baru ini saya menyaksikan sebuah tayangan yang sangat mengasikkan disebuah stasiun televisi. Sepakbola yang seharusnya menjadi ajang pertarungan dua tim yang kemenangannya dibuktikan dengan masuknya bola ke gawang lawan, berubah total menjadi ajang smackdown tanpa ring. Yang jadi korban kekerasan juga macem-macem. Ada wasit yang terkapar dipukuli supporter tim yang tidak terima dengan keputusan si-wasit, ada juga kipper yang tiba-tiba ngamuk dengan pemain lawan karena gawangnya dibobol. Lucu, dan sangat menghibur.

Dalam setiap permainan, selalu ada peraturan. Seandainya pertandingan itu berjalan sesuai dengan koridor peraturan, tentu semuanya akan berjalan lancar. Tapi sayangnya, kadang-kadang saat peraturan itu sudah ditegakkan dengan benar, ada juga pihak-pihak (yang tidak bertanggung jawab) memperkeruh suasana yang sudah kondusif.

Dilapangan hijau, sangat susah kita membedakan mana supporter yang datang atas nama bola, dengan supporter yang datang kelapangan atas nama hura-hura. Parahnya, supporter yang niat awalnya memang menikmati pertandingan, gampang sekali terpancing emosinya dengan supporter yang dari awal niatnya hanya untuk hura-hura. Hura-hura sendiri banyak macamnya. Hura-hura seperti menikmati teriakan-teriakan dan yel-yel yang bergema sepanjang pertandingan, sampai hura-hura yang arahnya anarkis seperti membakar tribune, atau bahkan membakar gawang.

Yah inilah potret dari masyarakat kita. Senang atau bahkan bangga saat bisa menyakiti orang lain. Tidak peduli apakah yang menjadi korban menangis, rugi jutaan rupiah, atau bahkan kehilangan nyawa. Dan sikap bar-bar ini diwujudkan dengan cara beramai-ramai, main keroyok, dan tawuran. Andai saja semangat bar-bar ini diwujudkan diarena gulat yang dipertandingkan di SEA GAMES misalnya. Atau orang-orang yang hobinya tawuran itu dilatih sedemikian rupa, digembleng dengan benar oleh pelatih professional yang mumpuni, pasti memunculkan Chris John, Chris John yang lain.

Tapi sayang sungguh disayang, belum ada yang berminat untuk menjadi atlit beladiri dan mengharumkan nama bangsa. Kelihatannya mereka lebih senang melakukan sesuatu beramai-ramai. Sekali lagi, andai saja ada even tawuran yang diperlombakan, pasti akan banyak pesertanya.

Sabtu, 29 Desember 2007

[Basa-Basi]: Resolusi Tahun Baru

Tahun Baru 2008 tinggal menghitung hari saja. Dan seperti biasa, ritual yang selalu dilakukan oleh orang kebanyakan adalah menyusun resolusi untuk tahun depan. Flashback sedikit demi sedikit untuk melihat apa-apa saja yang gagal ditahun ini, dan apa-apa saja yang menjadi keberhasilan kita. Beberapa kawan saya malah beresolusi untuk menikah tahun depan.

Saya sendiri sampai tulisan ini saya ketik, belum memiliki resolusi yang tepat untuk diwujudkan tahun depan. Terlalu banyak yang saya inginkan. Tapi setidaknya, saya memiliki cita-cita, setiap bulannya ada hal sukses yang bisa saya capai. Tapi saya ini orangnya terlalu besar dalam bercita-cita, tapi minim dalam hal perwujudan.

Tahun lalu saya punya resolusi, kepingin sekali bikin pameran foto tunggal. Tapi sampai detik ini juga, saya belum memamerkan satu buah foto-pun. Alasannya macam-macam, karena : dana, kurang pede mempublikasikan, sampai alasan males…!!! Nah, problemnya, saya susah sekali mengatasi masalah males ini.

Repotnya, saya selalu saja memiliki alasan untuk memperhalus rasa males saya. Contohnya, saya sudah punya sederet data buat artikel dikoran. Tugas saya tinggal menyusun dan mengirimnya ke redaksi harian yang saya tuju. Tapi dasar saya orangnya malas, ada saja alasan yang bisa menggagalkan acara tulis-menulis artikel tersebut. “Yah…namanya juga penulis, pasti nunggu mood dong,” kata saya dalam hati.

Dan sederet alasan lain yang muncul biasanya: Ngantuk yang bisa bikin nulis nggak konsen, badan pegel-pegel habis motret seharian jadi lebih enak tidur daripada bikin artikel, atau…. Haduh, banyak pokoknya (lagian sekarang saya sedang malas menjelaskan kemalasan saya. Hahaha… )

Tapi alasan saya ada benarnya bukan? Bagaimana bisa seorang penulis menghasilkan karya yang berkualitas jika moodnya sedang jelek?
“Halah… itu khan cuman alasan sampeyan aja. Saya tahu dari orok juga sampeyan orangnya males. Buktinya sampeyan lahir sembilan bulan duabelas hari. Pasti gara-gara sampeyan males keluar dari rahim bukan?” kata kawan saya yang kulitnya putiiiiih banget. Gimana nggak putih coba kalau dia-nya Albino.
“Lho lho, emangnya kamu tahu kapan saya lahir? Ngoceh aja kamu!” kata saya sedikit marah.

Jika kemalasan adalah hal yang sangat membebani saya ditahun 2007 ini, berarti tahun depan resolusi saya adalah: Memberantas Kemalasan Diri. Ya, ini adalah cita-cita saya yang harus saya wujudkan. Sukses apa nggaknya memang tergantung dari diri saya sendiri. Tapi tahu sendiri khan sifat saya, kalau punya cita-cita, konsepnya selalu luar biasa, tapi implementasinya…nol besar!

“Ya sampeyan memang cara berpikirnya persis kayak murid TK nol besar. Isinya main melulu. Giliran disuruh belajar pasti ngambek. Persis kayak sampeyan yang pemalas,” kata kawan saya yang kulitnya putih tadi sewot.

Senin, 24 Desember 2007

[Basa-Basi]: Sabar!

Saya adalah orang yang sangat susah kalau diajak sabar. Jalan Raya adalah tempat untuk menguji kesabaran seseorang. Dan saya sering gagal menghadapi ujian ini, karena saya sering ngumpat-ngumpat nggak jelas dijalan raya, begitu ada orang yang nyetirnya lelet amat. Padahal, saya sudah harus nyampe ke tempat kerja buat siaran.

Malahan, saya pernah hampir berantem sama pejalan kaki gara-gara ketidaksabaran saya. Suatu ketika pas lagi dijalan, tiba-tiba hujan deras turun mendadak. Sementara didepan, motor sama mobil nggak bergerak sama sekali karena diujung ada truk yang lagi mogok. Maksud hati ingin mengambil jalan pintas dengan menaikkan motor saya diatas trotoar, tapi karena jalan licin dan saya hilang keseimbangan, jadilah saya menabrak orang yang sedang asik jalan sambil bawa payung.

“Matamu ditaruk didengkul apa? Ini khan trotoar, kok seenaknya aja main serobot,” kata bapak-bapak yang saya serempet tadi dengan mata melotot. Sementara tangannya sudah menunjukkan tanda-tanda mau meninju saya.
“Lho tadi saya nggak ngelihat ada bapak kok. Lagian tadi khan banyak motor yang dinaikkan ke trotoar. Lagi macet juga,” Jawab saya nggak mau kalah.
Untung ada mas-mas yang melerai kita berdua. Dengan perasaan gengsi waktu itu, saya akhirnya meminta maaf. Emang jelas-jelas sayalah yang salah. Tapi dasar saya aja yg gengsinya gede.

Ketika ngantri tiket sepak bola lain lagi. Waktu pertandingan gede-gedean di Stadion Tambaksari Surabaya antara Persebaya dengan Arema, saya yang sejak lahir dianugerahi perasaan tidak sabar, nekat beli tiket dicalo biar lebih cepet. Apalagi disekitar saya sudah ada ribuan fanatis bola yang juga nganteri dengan aroma badan yang bermacam-macam. Ada yang baunya kayak ikan asin, ada yang baunya wangi, tapi wangi-wangi keringet gitu, sampai ada yang nekat buka baju padahal bulu keteknya menjulur kemana-mana (serem…). Alhasil tiket yang seharusnya dibandrol dengan harga 10 ribu rupiah, naik tiga kali lipat jadi 30 ribu. Dasar saya orangnya nggak mau sabar dikiiiit aja buat ngantri tiket, mau aja beli barang mahal itu dicalo.

“Mas, tau nggak sich kalau beli dicalo itu justru merugikan Persebaya. Karena uangnya nggak masuk dikas pengurus, tapi ke kantongnya calo,” sahut temen saya yang badannya gemuk, item, dan hobinya nonton bola.
“Iya tahu, tapi gimana lagi, masa saya harus berdesak-desakan dengan wajah-wajah beringas haus gol itu sich?” jawab saya asal.

Tapi itulah saya, kata sabar sepertinya menjadi hal langka dalam kamus hidup saya. Kadang-kadang saya iri dengan fotografer-fotografer wildlife yang bisa sabar berbulan-bulan nungguin anak ayam keluar dari cangkang telurnya. Saya juga sering iri sama mantan guru-guru saya, terutama guru-guru TK. Kok ya sabar sampai saya sudah segede Gaban gini masih aja ngajar balita. Apa nggak ada keinginan buat naik pangkat menjadi guru SD gitu.
“Wah kayaknya sampeyan emang bukan orang yang sabar deh mas. Sampai-sampai mulut sampeyan nggak sabar ngomong duluan, padahal otaknya belum mikir. Guru TK ya guru TK, guru SD ya guru SD, nggak ada ceritanya guru TK trus ngajar jadi guru SD itu naik pangkat. Bodo kok dipelihara,” jawab temen saya yang gembrot tadi sewot sambil mulutnya maju-maju.

Jumat, 21 Desember 2007

[Basa-Basi]: Standar Kehidupan Kita Berbeda

Saya tertegun, ketika mata ini menemukan sesosok pria tua yang sedang enjoy dipojokan sebuah toko. Sambil duduk diemperan sebuah toko yang kebetulan tutup itu, pria tua yang saya taksir usianya sekitar 70 tahunan, sedang asik menikmati krupuk. Bukan krupuk yang dibungkus dalam paket plastik dan memiliki bermacam-macam rasa seperti: udang, ikan, dll, tapi krupuk putih biasa yang satu bijinya sekitar dua ratus rupiah.

Saya sangat menikmati pemandangan itu. Sebuah ekspresi yang sangat sulit saya temukan bagi siapapun yang memakan krupuk. Saya melihat kenikmatan yang tiada tara, bagaikan menyantap seekor ayam panggang dengan lalapannya. Lahap sekali ia memakan krupuk yang jumlahnya hanya dua biji tergenggam ditangannya.

Saya tidak ingin mengganggu pria tua itu dengan mendekat dan kemudian bertanya “Kenapa bapak makan krupuknya lahap sekali?” Untuk saat ini saya cuma ingin melihat dari kejahuan saja. Saya jadi ingat kebiasaan waktu kecil dulu. Saya sering ngambek marah-marah ketika ibu saya hanya memasak tahu, tempe, telor, dan sayur lodeh. Padahal, saya sedang ngebet banget makan ayam goreng yang dibumbuhi dengan tepung.

“Kamu ini maunya makan enak terus. Mbok sekali-kali makan yang kayak gini,” kata ibu saya waktu itu.
“Nggak mau…” jawab saya sambil terus merengek. Bahkan ngambek saya waktu itu bisa seharian nggak mau makan. Padahal ibu saya waktu itu sudah membelikan saya ayam goreng.

Bagi pak tua itu, ditengah panasnya matahari Surabaya yang menyengat, disaat perut sudah keroncongan namun uang dikantong tidak cukup untuk membeli nasi bungkus, maka dua buah kerupuk ditambas satu plastik es the manis sudah cukup membuatnya kenyang. Sementara saya dan (mungkin) orang-orang “cukup” lain, memakan tahu-tempe sudah menjadi hal yang menyakitkan.

Setiap manusia memang memiliki ukuran yang berbeda dalam menilai sesuatu. Sesuatu yang tidak mengenakkan bagi saya seperti makan tahu, tempe, telor, dicampur sayur lodeh, mungkin jadi hal yang paling menyenangkan bagi pak tua itu. Mungkin, makan telor hanya bisa dia nikmati pada saat ada rejeki lebih. Padahal rejeki lebih itu belum tentu datang seminggu sekali.

Walau standar hidup manusia itu berbeda-beda, tapi ada baiknya kita selalu melihat kebawah. Dengan melihat kekurangan orang lain, kita bisa lebih bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan selama ini. Namun jika kita memiliki cita-cita, tentu kita wajib memandang keatas. Kesuksesan yang didapat orang lain, bisa menjadi motivasi bagi kita untuk lebih semangat berusaha.
“Makanya mas, kalau dikasi makan tahu-tempe itu mbok ya dimakan. Jangan sok-sok an nggak mau. Awas lho ya kalau sampai tahu-tempe itu demo, trus nolak kalau dimakan sampeyan. Huh bisa kolesterol sampeyan karena kebanyakan makan ayam, daging, sama ikan,” kata temen saya yang berkepala botak panjang lebar menasehati saya.

[Basa-Basi]: Totalitas Wajah

Pepatah bijak selalu menasehati kita untuk total dalam menjalani kehidupan dunia yang keras ini. Haram hukumnya ketika kita bersikap setengah-setengah saat mengerjakan sesuatu. Pernah saya mencoba buka usaha pulsa elektrik dengan modal yang setengah-setengah. Mulai dari modalnya yang duikiiitttt banget, sampai tempatnya yang juga nggak niat banget (buka counter dirumah). Alhasil seperti karma dari sang pepatah bijak, usaha pulsa saya ini kandas ditengah jalan.

Ketika Polri membuka lowongan taruna dengan embel-embel bebas KKN, saya langsung tertarik ikut. Padahal modal jasmani dan rohani belum saya miliki dengan mantab. Yang ada cuman modal nekat dan setengah-setengah, Diterima syukur, nggak juga gak bakalan nangis Bombay. Hasilnya sudah pasti: “tidak diterima” dan karma dari sang pepatah bijak benar-benar terbukti.

Sekarang saya tidak sedang membahas totalitas kita dalam meraih sesuatu, tidak juga membahas totalitas kita dalam pekerjaan. Seperti judulnya, saya sangat tertarik berbicara panjang lebar soal totalitas wajah.

“Maksudnya apa sih mas?” tanya temen saya yang bibirnya dower mulai penasaran.

Dulu saat masih SMA, guru olahraga saya ketika memberikan pengarahan diacara Masa Orientasi Siswa pernah berkata, “Jika kalian ingin dikenang oleh banyak orang disekolah ini, maka kalau jadi siswa, nakal yang nakal sekalian, tapi kalau pinter yang pinter sekalian. Jadi jangan setengah-setengah.”

Kalimat guru olahraga saya ini, selalu ter-ngiang ditelinga dan otak saya. Maka saat saya melihat seorang Tukul Arwana suksesnya bukan main lewat acara empat mata, kemudian saya bandingkan dengan Brad Pitt yang dipuja banyak wanita karena ketampanannya, sejurus kemudian saya berpikir, “Kalau mau ngetop dan sukses jadi artis, kalau ganteng, gantengnya harus ganteng minta ampun kayak Brad Pitt, tapi kalau jelek, jeleknya harus jelek minta ampun kayak si….”

Itulah yang saya sebut “Totalitas Wajah”. Jangan seperti saya, kalau mau dibilang ganteng juga impossible, karena ibu saya aja sering bilang kalau saya jelek. Tapi kalau dibilang jelek beneran juga nggak mungkin, wong saya punya pacar yang cuantiiikkk bgt (kayak boneka India). Bahkan kita sudah pacaran selama 3 tahun. Berarti nggak mungkin dong dia nggak sadar kalau punya pacar jelek. Bisa jadi dimata pacar saya yang menik-menik (imut-imut, Jawa) itu, saya emang pria yang jelek, tapi punya segudang potensi dan kelebihan yang tidak dimiliki pria ganteng manapun dimuka bumi ini (Cieeee…). Kadang-kadang ibu saya juga bilang saya ganteng, kalau kebetulan saya kasih beberapa lembar uang berwarna merah.

Tapi ya itu tadi, kalau mau jadi artis bakalan susah suksesnya. Dikasih peran utama sebagai mas-mas yang ganteng berwibawa juga nggak pantes. Salah-salah nanti banyak pemirsa yang protes, “Lho kok pemeran utamanya jelek banget sich?” Tapi kalau suatu saat saya dikasi peran sebagai orang yang teraniaya, seperti jadi mas-mas pembantu yang sering disiksa majikan perempuannya, saya yakin banyak pemirsa yang kasi komentar, “Haduh kasian ya pemeran pembantunya, padahal khan wajahnya nggak cocok jadi pembantu. Cocoknya jadi mas-mas tukang ojek tuh.”

Alhasil, karena banyak pemirsa yang bingung dengan wajah saya yang nggak jelas, maka peluang sukses saya tipiiiiiis banget. Kesimpulannya, buat kawan-kawan yang wajahnya membingungkan, kadang kelihatan ganteng kayak Dude Herlino tapi pas ditamat-tamatin mirip banget ama Komeng, mending stop deh casting-casting jadi artis. Lebih baik mengasah bakat terpendam yang lain, seperti: olah vocal, teknik permainan gitar, atau mungkin mengasah bakat dibidang ekonomi jadi pedagang asongan.

“Wah betul tuh mas, saya aja sekarang sedang giat-giatnya belajar vocal. Khan saya vokalis band rock mas dikampus. Sapa tau band saya ini bisa masuk dapur rekaman dan jadi legendaris kayak Rolling Stones,” kata temen saya tadi.
“Wah bener tuh. Kayaknya kamu pas saingan sama si Mick Jagger. Saingan dowernya, kaleee,” sahut saya sambil ngeloyor pergi ninggalin dia yang bengong sambil garuk-garuk kepala.