Selasa, 31 Juli 2007

MENDONGKRAK POTENSI WISATA SURABAYA DENGAN MENJAGA CAGAR BUDAYA

Kantor Polwiltabes Surabaya dalam master plan akan menjadi gedung kepolisian termegah kedua di Jawa Timur setelah Mapolda Jatim. Wujud pembangunannya sekarang sudah mulai terlihat, dengan berdirinya gedung baru Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim), Satuan Reserse Narkoba (Satnarkoba), dan Satuan Intelkam Polwiltabes Surabaya. Di kompleks gedung bercat krem tersebut, terdapat ruang tahanan yang cukup luas dan mampu menampung 500 orang. Pengadaan gedung baru itu menurut Kapolwiltabes Surabaya, Kombespol Anang Iskandar, semata-mata untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kedepan, jajaran kepolisian Surabaya ini juga akan memiliki gedung berlantai dua puluh.

Meski sedang giat-giatnya membangun dan mempercantik bangunannya, satu hal yang membuat kita salut adalah komitmen Kapolwiltabes yang tidak akan mengutik-utik bangunan-bangunan peninggalan zaman Belanda yang masih utuh dan hingga saat ini masih menjadi gedung utama. Tentu komitmen ini menjadi sesuatu yang langka, karena pada kenyataannya, tidak sedikit bangunan Cagar Budaya yang kondisinya tak jelas. Jangankan dihindarkan dari kemungkinan perubahan bentuk, bangunan Cagar Budaya malahan dihancurkan dan diganti dengan bangunan baru yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi saat ini dengan pertimbangan bisnis, contoh kasus Stasiun Semut.

Bukan tidak mungkin, pertumbuhan kota yang pesat, yang ditandai pembangunan fisik seperti ruko dan plasa, menjadi ancaman bagi masa depan Cagar Budaya di Surabaya yang hampir semua berada di lokasi strategis. Ancaman-ancaman terhadap kelestarian situs dan bangunan cagar budaya ini cukup panjang daftarnya. Sebut saja beberapa, misalnya Kompleks Gedung Sentral di Jl.Tunjungan yang berarsitektur unik mestinya bisa menjadi wajah “Soerabaia Tempo Doeloe”, dirobohkan dan kini terbengkalai. Sementara pembangunan gedung baru di Jl Veteran terlihat sama sekali tidak menyatu dengan bangunan berarsitektur kolonial di kawasan itu. RS Mardi Santosa ditutup dan rawan gusur. Beberapa situs serta bangunan lain yang agaknya diincar investor, antara lain Penjara Kalisosok yang sudah diumumkan akan dijadikan mal. Kondisi rawan gusur ini tak akan terpecahkan masalahnya jika Peraturan Daerah (Perda) Cagar Budaya tak kunjung terbit. (www.arsitekturindis.com)

Sebenarnya, jika sebuah bangunan dikategorikan dalam Cagar Budaya, artinya bangunan-bangunan itu dilindungi dan dilestarikan, serta dihindarkan dari kemungkinan pembongkaran, penghancuran, dan perubahan bentuk. Kata melindungi ternyata sangat pasif, tidak ada upaya pengawasannya, apalagi ikut memelihara. Bahkan bangunan yang tidak laku untuk dikelola, dibiarkan telantar dan rusak dimakan usia.

Padahal jika merujuk pada sejarah perjuangan arek-arek Suroboyo, banyak bangunan di kota ini menjadi saksi heroik perjuangan meraih kemerdekaan. Peristiwa 10 Nopember 1945 di Kota Pahlawan menjadi bukti, bahwa banyak bangunan Cagar Budaya menjadi saksi bisu perjuangan warga kota melawan penjajah. Contoh nyata adalah dibangunnya Tugu Pahlawan sebagai wujud penghormatan terhadap jasa pahlawan kita. Cagar Budaya Surabaya yang sudah banyak dikenal, diantaranya, Jembatan Merah (Gedung Internatio), sekitar Tugu Pahlawan (Markas Kentepai Jepang / Gedung Raad Van Justitie) dan Hotel Mandarin Majapahit ( Hotel Orange / Hoteru Yamato ).

Dalam daftar bangunan cagar budaya yang tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Wali Kota Surabaya Nomor 188.45/251/402.1.04/1996 menyebutkan, 61 bangunan termasuk dalam kategori cagar budaya. Daftar bangunan dalam SK Wali Kota Surabaya Nomor 188.45/207/402.1.04/ 1998 tentang cagar budaya, jumlah bangunan yang disertakan lebih banyak, mencapai 102 unit. Artinya, saat kita kedatangan turis lokal ataupun mancanegara yang akan berkeliling Kota Surabaya, maka tidak sulit sebenarnya untuk menceritakan sejarah kota. Pemkot bisa memanfaatkan bangunan Cagar Budaya yang kita miliki sebagai media penyampaian. Apalagi di beberapa belahan kota, masih ditemukan sisa-sisa masa lalu berupa bangunan kuno. Namun meski jumlahnya bisa mencapai ratusan, namun yang dipastikan terawat baik hanya sebagian saja.

Menjaga dan merawat Cagar Budaya bukanlah persoalan yang sia-sia. Disatu sisi, perawatannya mungkin membutuhkan biaya yang tidak sedikit mengingat jumlahnya yang cukup banyak. Namun jika Pemerintah Kota Surabaya memiliki intuisi bisnis yang tajam, maka pengelolaan Cagar Budaya yang benar dan mumpuni bisa membuka lahan baru di dunia pariwisata Surabaya yang kabarnya hanya sebagai kota transit saja. Jika Bali terkenal dengan wisata pantainya, atau kota Roma, Vatikan terkenal dengan wisata religinya, maka Surabaya sesuai dengan sebutannya sebagai kota Pahlawan, akan menjadi besar dengan wisata Cagar Budaya-nya. Bukankah dari dulu kita sudah mengenal istilah “Soerabaia Tempo Doeloe” yang identik dengan nilai hostoris dan arsitektur kota.


**pernah dipublikasikan di JP/Metropolis 23/07/07

Tidak ada komentar: