Rencana Pemerintah Kota Surabaya yang akan mengembangkan Terminal Joyoboyo menjadi bangunan tujuh lantai merupakan sebuah ide yang sangat menarik. Konsep mengawinkan terminal sebagai pengendali angkutan umum dan Mal sebagai tempat belanja menjadi suatu hal yang bisa memacu pertumbuhan wilayah. Dalam gambaran yang terlintas di kepala saya, Terminal Joyoboyo akan menjadi tempat yang sangat padat dan vital. Padat karena Joyoboyo yang sebelumnya hanya menjadi tempat singgah sementara bagi mereka pengguna angkutan umum, nantinya akan menjadi jujugan juga bagi penikmat belanja.
Ada hal yang harus di perhatikan sebelum benar-benar mengubah wajah terminal joyoboyo. Seperti kita tahu kalau terminal adalah pusat pengendali kendaraan-kendaraan umum, baik yang akan berangkat, sedang menunggu penumpang, dan yang baru saja datang. Tentunya dalam terminal ada banyak angkutan kota dengan berbagai jurusan yang tentu saja jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan. Artinya, terminal merupakan salah satu penyumbang polusi terbesar di kota. Lantas bagaimana jika nantinya terminal akan berada di dalam gedung. Bagaimana dengan sirkulasi udaranya? bagaimana dengan polusinya? ini merupakan pekerjaan rumah yang harus di pikirkan pemerintah kota Surabaya.
Berbicara tentang polusi tidak ada habisnya, terutama polusi udara. Bisa dikatakan hampir tidak ada kota di dunia ini yang luput dari yang namanya polusi atau pencemaran udara. Udara yang tercemar yang mengepung berbagai kota bisa menyebabkan orang sehat, apalagi orang sakit, masuk rumah sakit. Terlalu banyak kerugian yang ditimbulkan oleh polusi udara. Kota-kota di AS, yang tingkat pencemaran udaranya cenderung jauh lebih rendah dari kota-kota di negara berkembang, kematian akibat pencemaran udara berkisar antara 50.000 hingga 100.000 orang. Polusi udara juga menyebabkan penurunan kecerdasan anak hingga bayi lahir cacat. Padahal seperti kita tahu, Joyoboyo adalah lokasi padat penduduk. Tepat disampingnya, terdapat sekolah, kebun binatang, dan pemukiman warga. Namun masalah polusi masih bisa di siasati, dengan memberikan ruang terbuka hijau disekitar gedung terminal. Minimal 20.000 meter persegi sebagai pengimbang emisi gas buang kendaraan umum yang ada di terminal.
Masalah lain yang pasti akan muncul dalam konsep terminal tujuh lantai adalah soal kenyamanan dan kebersihan. Dalam angan-angan saya, bangunan terminal digambarkan berupa gedung tujuh lantai yang ditata sedemikian rupa sehingga mirip mal. Saat pengunjung memasuki lantai IV, berjejer berbagai counter yang menjual beragam barang. Di sana terdapat toko baju hingga gerai telepon seluler serta pernak-perniknya. Deretan toko-toko serupa juga terdapat di lantai V dan VI. Sementara di lantai VII tersedia food court dan gedung bioskop. Dalam angan saya juga tergambar, lantai I, II, dan III tempat kendaraan angkutan umum akan mangkal, terlihat licin dan bersih. Bemo dan bus kotanya juga berjajar rapi serta banyak petugas yang akan mengawasi arus kegiatan di dalam terminal.
Mungkin ini adalah gambaran ideal yang ada dalam angan-angan saya dan beberapa orang yang ingin menjadikan Joyoboyo sebagai terminal terpadu dalam gedung tujuh lantai. Namun kadang kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Bagaimana bisa kita berharap sebuah terminal di dalam gedung menjadi bersih dan tidak kumuh, jika persoalan emisi gas buang dari bus-bus kota masih belum terselesaikan. Dari dulu problem kendaraan umum kita hanya satu, asap knalpotnya selalu mengeluarkan asap hitam yang mengganggu. Mengganggu pernafasan, juga mengganggu karena jika badan kita terkena asapnya maka baju kita akan kotor. Nah itupun sama halnya dengan lantai dan gedung yang akan menjadi tempat mangkal bus atau bemo nantinya, akan menjadi kotor karena asap kendaraan. Problem klasik terminal kita adalah, kondisinya yang kumuh, calo penumpang, pengamen dan pedagang asongan yang silih berganti keluar masuk terminal, arus keluar masuk kendaraan yang semrawut, hingga bau pesing yang mewarnai sudut-sudut terminal (Jawapos/12/02/07).
Membangun untuk memperkuat icon Surabaya sebagai kota metropolis adalah hal yang sah dan patut mendapat apresiasi. Namun jika pembangunan yang pastinya menelan dana miliaran rupiah itu hanya akan sia-sia, karena pemerintah kota tidak juga bisa mengatasi problem klasik sebuah terminal, lantas kenapa kita tidak menata saja apa yang sudah ada saat ini. Solusi dari kesemrawutan sebuah terminal bukan dengan menyulapnya menjadi tempat yang megah dan modern, namun dengan menertibkan disiplin orang-orang yang terlibat didalamnya, mulai dari pengelola, sopir, kernet, bahkan sampai penumpangnya sendiri.
**pernah di publikasikan di Metropolis/Jawa Pos, Maret 07
Rabu, 01 Agustus 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar