Kamis, 06 Desember 2007

[Basa-Basi]: Harap Maklum, Khan Indonesia!!!

Beberapa hari ini, hujan mulai mengguyur Surabaya. Seperti biasa, bagi para petani hujan menjadi berkah karena sudah berbulan-bulan sawah mereka kering. Tapi bagi sebagian orang, hujan yang turun pada situasi yang tidak tepat, sering menjadi masalah. Misalnya, hujan turun saat kita akan berangkat kerja. Sehari-dua hari telat ke kantor karena hujan mungkin bukan masalah besar. Biasanya rekan kerja yang juga sama-sama kehujanan, akan memaklumi alasan kita. Tapi sayangnya, ada beberapa oknum yang memanfaatkan hujan sebagai kambing hitam atas tindakan illegal mereka.

“Sori mas, dirumah lagi ujan deres. Jadi telat deh…,” kata rekan kerja saya yang sudah tiga hari berturut-turut telat ngantor.
“Hah…hujan? Bukannya sudah berhenti sejam yang lalu?” tanya saya.
“Iya mas sudah berhenti emang, tapi banjirnya masih ketinggalan,” jawabnya nggak mau kalah.
Tiba-tiba rekan kerja saya yang lain menimpali, “Sudah mas, harap maklum, namanya juga hujan.”

Telat tiga hari berturut-turut kok harap maklum?

***

Di pertengahan bulan puasa, saat masih kuliah dulu, panas yang luar biasa membuat saya memutuskan singgah ke kantin. Disana saya liat beberapa kawan saya sedang asik ngobrol. Sementara yang lainnya ada yang sibuk main catur, sms-an sendiri, sampai ada yang menggelepar lemas dipojokan. Tapi emosi saya terpancing ketika melihat sesosok berambut kribo sedang asik menikmati mie rebus ditemani sebotol teh dingin.

“Busyet…,” batin saya. Sejurus kemudian saya ngomel-ngomel disamping temen saya yang lain.
“Liat tuh si Kribo, orang pada lemes puasa eh dia malah asik makan didepan kita-kita. Nggak tau adat banget sich,” kata saya sedikit nyolot.
“ Sudah lah mas harap maklum saja, sapa tau anaknya ndak sahur tadi malem, jadi puasanya bolong deh,” sahut kawan saya yang lain.

“Harap maklum? Perasaan saya nggak pernah liat si-Kribo puasa deh?”

***

Kita terlalu sering memaklumi hal-hal yang tidak seharusnya ditoleransi. Saat ada pejabat yang korup, kita cuma bisa bilang, “Harap Maklum, namanya juga pejabat.” Sementara diluar sana banyak rakyat yang menanggung dosa mereka dengan menderita kelaparan. Bahkan beberapa anak terpaksa tidak bersekolah, karena harga pendidikan yang sangat mahal. Padahal urusan kelaparan, pendidikan, sampai kesejahteraan, merupakan tanggung jawab pejabat, bukan?

Ketika seorang artis ternama kedapatan membawa narkoba, kita cuma bisa berkata, “Harap maklum, namanya juga artis.” Seharusnya, siapapun yang menjadi pengikut setan, baik pemakai atau pengedar narkoba, harus kita cemooh. Selain itu, hukum-pun seharusnya bertindak adil tanpa pandang bulu, entah itu artis, entah itu orang miskin, atau tukang becak sekalipun. Tapi, ya itu tadi… kita terlalu baik sebagai sebuah bangsa. Secara positif sikap baik dan memaklumi itu menandakan kita bangsa yang berpositif thinking dan mudah memberikan maaf. Tapi disisi lain, sikap harap maklum akan membuat beberapa oknum seperti mendapat angin. Tidak takut melakukan kejahatan, atau tindakan illegal, karena masyarakat kita pasti mudah memakluminya.

Contohnya, “Aduh maklum lah, namanya juga orang miskin. Kalau kebutuhan hidup meningkat, sementara pekerjaan nggak punya, ya mau apa lagi kalau nggak mencuri.”

Bangsa kita memang bangsa yang nerimo. Sangking nerimonya, sampai-sampai nggak tahu mana yang baik mana yang buruk, mana yang salah mana yang benar.

“Harap maklum lah, namanya juga Indonesia.”

Tidak ada komentar: