Jumat, 14 Desember 2007

[Basa-Basi]: Mulutmu, Harimaumu

Saya sangat senang dengan ungkapan ini. Rasanya sangat pas, mengingat tidak ada orang yang berani memelihara harimau secara terang-terangan. Artinya, meski kita sudah memelihara seekor harimau sejak lahir, bukan berarti ketika dia lapar, si-kucing besar ini tidak bakalan menggigit kita. Dengan kata lain, harimau adalah sosok yang ganas dan kejam, biarpun kita sudah akrab dan lama mengenalnya.

Jika ungkapan “Mulutmu, Harimaumu” diartikan bahwa Mulut kita seganas Harimau yang sewaktu-waktu bisa menerkam diri kita sendiri (seperti senjata makan tuan), maka ada baiknya kita pandai-pandai menjaga mulut. Tapi persoalannya, dipasaran kita tidak bisa menemukan gembok yang bisa mengunci mulut kita, ketika sedang bawel, cerewet, dan menggosipkan orang.

Saya paling sebel saat bertemu dengan sekelompok orang yang sedang menggunjing atau nggosip. “Eh liat tuh si-M, tiap hari dandanannya sexy, baju-bajunya selalu ketat dan kebuka. Pasti tuh anak simpenannya om-om,” kata kawan kampus saya berapi-api dihadapan pendengar setianya. Batin saya, “Orang pakai baju sexy khan hak asasi manusia, asalkan tidak terlalu sexy yang bisa mengundang syahwat pria yang melihatnya.” Lagian, apakah si-M simpanan om-om atau bukan, khan butuh penelitian lebih lanjut.

Tapi dasar orang yang sedang asik ngegosip, asalkan bisa bikin obrolan tambah seru, acara menjelek-jelekkan orang terus berlanjut. Mereka para bigos itu mungkin juga tidak perduli apakah yang digosipkan sakit hati atau tidak.

“Ah biarlah… Mulutmu, Harimaumu, suatu saat mereka akan termakan omongan mereka sendiri,” kata saya sambil berlalu.

***

Berbeda lagi ketika kita memperhatikan mulut orang yang suka mencemooh. Kebetulan saya punya rekan kerja yang hobinya “mengkritik” tindakan orang lain. Mengkritik bukan tanda peduli, tetapi mengkritik karena bawaannya sirik melulu. Suatu saat, ada rekan kerja saya yang lain yang kebetulan telat masuk kantor.

“Kamu tuh masuk jam berapa? Mbok ya kira-kira kalau masuk kerja. Emang ini kantornya nenek moyang kamu? Gara-gara kamu telat, terpaksa saya yang banting tulang pagi-pagi begini,” kata si-Comel mulai ngomel-ngomel kasar.
“Maaf mas, saya nggak ngira kalau ditengah jalan bakalan ketemu sama paku. Yah… bocor deh ban mobil saya,” jawab kawan saya yang telat.
“Kamu itu, sudah salah masih aja bisa njawab,” kata si-Comel ketus.

Beberapa minggu kemudian, saat tanda waktu sudah menunjukkan pukul 09.16 WIB, si-Comel belum kelihatan muncul dikantor. “Lagi sakit mungkin…” kata salah seorang kawan saya. Ternyata sepuluh menit kemudian si-Comel muncul dengan tergesa-gesa. Wajahnya kusut, matanya lebam (tanda-tanda baru bangun tidur), rambutnya acak-acakan, dan bau mulutnya… busyet… bau banget.
“Sori…. saya kesiangan,” katanya dengan malu-malu.
“Telat nih yeee….” jawab rekan kantor saya bebarengan.

Disini, ungkapan “Mulutmu, Harimaumu” terbukti. Kita memang bebas ngomong apa saja, apalagi mulut-mulut kita sendiri. Tapi yang menjadi persoalan adalah, apakah saat kita berbicara, atau mencemooh orang, mulut kita itu tidak melukai perasaan seseorang. Dan yang lebih bahaya adalah, saat orang yang tersinggung dengan perkataan kita mulai mengucapkan mantra-mantra yang mendoakan kita agar tertimpa sesuatu. Termasuk termakan omongan kita sendiri.

“Lebih enak kayak saya khan mas, punya mulut dipekerjakan. Jadi MC lah, jadi dubber lah, atau jadi vokalis band. Nggak nyakitin perasaan orang, tapi malah menghibur. Betul?” kata kawan saya yang penyiar dengan ungkapan penuh aura ke”narsis”an.

Tidak ada komentar: