Jumat, 21 Desember 2007

[Basa-Basi]: Ketika Hujan Turun

Surabaya terkenal sebagai kota yang suhu udaranya panas sekali. Bahkan ketika saudara saya yang tinggalnya di Bandung bertandang kerumah saya, ia lebih memilih tidur diruang tamu daripada dikamar, karena nggak tahan dengan udaranya yang bisa bikin kita ngeluarin keringat sebesar biji jagung. Panas Surabaya yang siang hari konon kabarnya bisa mencapai 36 derajat Celsius, kadang-kadang membuat saya kangen juga kedatangan hujan. Malah saya pernah berdoa, “Ya Tuhan, pas panas-panas gini, dihujanin dikit-dikit nggak papa dong…” Saking nggak tahannya saya sama panas ketika berada diluar rumah pas njemput pacar.

Kelihatannya Tuhan mendengar doa saya. Hari ini, ketika mata saya melek dari tidur, dan tanda waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, saya sama sekali tidak merasakan terik matahari. Kepala saya melongok dari balik jendela kamar, dan benar, awan hitam sudah bergelayut disana-sini memenuhi Surabaya. “Asyik…” batin saya.

Betul, beberapa jam kemudian saya mulai mendengar air gemerotokan diatas atap rumah. “Wah ini dia yang dinanti-nanti dari kemaren. Hujan sudah mulai turun nampaknya.” Tiga jam sudah berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, tapi air hujan yang dari tadi mengalir dengan deras belum juga menunjukkan tanda-tanda mau berhenti. Padahal, jam enam sore nanti saya harus berangkat ke studio buat siaran. “Aduh. gimana neh?” pikir saya.

Dan benar, begitu tanda waktu sudah mengarah ke pukul 17.36 menit, hujan juga belum berkeinginan untuk berhenti. Sampai pada akhirnya saya membuat keputusan untuk memakai celana pendek ke kantor. Maksudnya, karena hujan belum reda, daripada saya maksa pakai celana panjang, trus malah kecipratan sana-sini dijalan, khan lebih baik pakai celana pendek. Tentunya, badan juga sudah dilapisi dengan jas hujan.

Tapi ternyata, hujan yang hari ini sudah liar turun dan nggak mau berhenti-berhenti, membuat beberapa jalan di Surabaya sudah seperti sungai saja. Mata saya bahkan menemukan beberapa sosok, anak-anak, tua-muda, malah asik berenang diantara banjir. “Busyet, pada nggak pernah kenal hujan kali ya. Begitu liat hujan turun, semuanya pada pengen maen air aja.”

Sayangnya, motor buntut saya ini juga kelihatannya pengen berendam lama-lama di air. Saking pengennya, sampai-sampai motor saya ini memilih diam didalam air dari pada melaju mengantarkan saya sampai ke ruang siaran. Ya… motor saya benar-benar mogok. “Sial… ini akibatnya kalau nggak pernah maen air hujan, kena dikit aja maunya mogok melulu,” maki saya dalam hati. Saya benar kesal, 10 menit lagi saya harus masuk ruang siaran, harus cuap-cuap didepan michropone buat nemenin penggemar-penggemar saya yang ada dirumah. Tapi apa mau dikata, hujan yang sudah lama saya tunggu-tunggu agar turun membasahi Surabaya, hari ini benar-benar ngamuk. Mungkin hujannya sudah ngempet berbulan-bulan buat turun ke bawah. Jadi begitu Tuhan kasih lampu hijau karena mendengar doa saya yang kepengen hujan, maka air yang datang buanyaknya minta ampun.
“Haduh, andai saja saya nggak request turun hujan ke Tuhan, pasti nggak begini jadinya,” gumam saya. Sementara tangan saya sekarang, sibuk mencet nomer telepon kantor, minta tolong ke temen-temen supaya ada yang nge-gantiin saya siaran.

Tidak ada komentar: