Minggu, 20 Januari 2008

[Basa-Basi]: Elite-nya Tahu Tempe

Siapa bilang tahu-tempe makanan orang kampung? Buktinya sekarang banyak orang yang mengeluh karena susahnya mencari makanan yang berbahan dasar kedelai itu. Dua personil AB Three yang datang bersama suaminya di acara Empat Mata bahkan terang-terangan mengaku kangen dengan makanan yang sudah sulit dicari di Jakarta itu. Dan beberapa kawan saya juga suka nyindir, "Baru kali ini saya lihat pengusaha tahu-tempe dan pedagang-pedagangnya melakukan aksi demo. Khan biasanya yang suka ribut-ribut demo, mahasiswa."

Kawan saya yang perawakannya kurus dengan rambut gondrong punya pendapat lain lagi. "Tahu-tempe itu dari dulu makanan mahal. Buka cuma itu, tahu-tempe juga makanan yang bisa bikin orang sukses. Buktinya Pak Harto yang sejak kecil hobi banget makan tahu-tempe bisa jadi Presiden sampai 32 tahun," katanya serius.

Saya sendiri dari dulu juga ngefans sama tempe. Dibandingkan tahu, saya lebih condong ke tempe yang teksturenya kasar dan bentuknya padat. Saya kurang suka saja dengan tahu, yang lembek, basah, dan sangat tidak bergairah. Kadang-kadang saya juga heran sendiri, kenapa ketika ada orang yang mentalnya sedang down, selalu disebut mental tempe. Kenapa nggak mental tahu aja yang jelas-jelas lebih lembek dan tidak bergairah.

"Oalah mas-mas, mau tempe kek, mau tahu kek, sama aja kalo dicelup air juga lembek, nggak tahan. Coba daging, biar dimasukin air, kalau bukan air panas ya nggak bakalan empuk. Makanya disebut mental tempe, masa gitu aja nggak tau sich," ujar temen saya yang kepalanya botak tiba-tiba.

"Itu khan kalau dicelup air. Coba kalau nggak dicelup, pasti tempe juga nggak kalah atosnya sama daging," jawab saya nggak mau kalah.

Tapi yang pasti, berkat harga kedelai yang sekarang melangit, saya juga merasa kehilangan dengan menurunnya kualitas tahu-tempe yang sekarang dijual. Makanan ini sekarang, sudah tuipiiiisss, juga lumayan mahal. Saya jadi heran, kalau denger lagunya Koes Plus, bukannya negara kita ini negara yang suburnya minta ampun. Kayu saja kalau ditanam "katanya" bisa jadi tanaman, tapi kok masalah kedelai saja harus impor dari Amerika. Konon kabarnya, harga kedelai impor dari negaranya si-Bush jauh lebih murah dari kedelainya orang Indonesia. Makanya para petani kita males nanam kedelai, karena harga jualnya kalah bersaing.

Nah, kalau akar permasalahan dari langkanya kedelai ini sudah ditemukan, saya sangat berharap pemerintah segera mengambil tindakan. Tindakannya seperti apa, tentu bukan urusan saya. Karena sebagai warga negara yang baik dan membayar pajak, saya sudah menggaji Menteri Perdagangan untuk mengurusi masalah ini. Sebagai negara yang di era Soeharto disebut dengan lantang sebagai negara Agraris, saya malu kalau urusan tahu-tempe saja sampai ada yang berdemo di Istana Negara.

Tidak ada komentar: