Surabaya dengan statusnya sebagai Kota Pahlawan, memang sudah lengkap dengan masih tersisanya Cagar Budaya dan berdirinya Monumen Perjuangan di beberapa lokasi. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemerintah Kota Surabaya mencatat, setidaknya ada 26 Monumen berdiri kokoh di kota ini. Namun sayang memang, jumlah yang cukup besar itu, tidak memiliki arti apapun bagi kemajuan Surabaya.
Sebenarnya apa arti dari Monumen? Dalam istilah Jerman, Monumen atau “Denkmal“, secara harifiah memiliki fungsi yang utama, yakni menjadi sebuah simbol dalam ruang publik yang mengajak orang untuk berpikir (denken), dan memberikan petunjuk-petunjuk kepada jejak sejarah. Dengan berdirinya suatu Monumen, diharapkan mampu mendorong para pengunjungnya untuk merefleksikan peristiwa sejarah, menjadi motivasi di kehidupan sehari-hari. (Goethe Institute)
Merujuk pada definisi tersebut, jika Pemkot cukup jeli memanfaatkan peluang, maka berdirinya simbol-simbol perjuangan tersebut bisa mendatangkan dua manfaat. Pertama, sebagai sumbangsih sejarah dalam kurikulum pendidikan berbasis kompetensi. Kedua, membangkitan pariwisata Surabaya yang belum menemukan jati-dirinya.
Monumen dan Pendidikan
Sebagai saksi bisu perjuangan, Monumen dibangun atas dasar penghormatan terhadap jasa-jasa para pahlawan yang berjuang dimasanya. Struktur bangunan Monumen, biasanya khas dan cenderung sama, yakni sebuah simbol dan beberapa pahatan yang menggambarkan kejadian peperangan saat itu. Struktur bangunan ini, hampir sama dengan candi-candi yang dibangun di jaman Majapahit.
Penggambaran yang simbolik ini, bisa dijadikan bahan dalam mata pelajaran sejarah. Para pendidik bisa memanfaatkan hari Sabtu (atau Minggu) untuk mengajak para siswa mengunjungi monumen-monumen perjuangan ini. Setidaknya selain memahami sejarah nasional, para siswa (di Surabaya) juga memahami sejarah kotanya. Tidak perlu sekaligus mengunjungi ke-26nya, tapi bisa di bagi berdasarkan kedekatan lokasinya.
Monumen dan Pariwisata
Surabaya sebagai kota transit, sampai sekarang dianggap belum mampu menjadi tempat tujuan wisata utama bagi para wisatawan. Padahal sejak Surabaya Tourism and Promotion Board dicanangkan pemerintah pada Mei 2005 lalu, Pemkot terus berupaya menggali potensi wisata yang ada di Surabaya. Sebagai Kota Pahlawan, semestinya Surabaya tidak kehilangan "Jati-dirinya". Tentunya Pemkot bisa mendeskripsikan sebutan Kota Pahlawan, dengan mengelola Cagar Budaya dan Monumen Perjuangan, karena menjadikan Monumen sebagai daya tarik pariwisata sudah dilakukan berbagai negera.
Tembok Berlin, Jerman bisa jadi merupakan simbol tragedi kemanusian yang membagi kota Berlin menjadi dua, Berlin Barat dan Timur dibangun semasa perang dingin. Sudah banyak jiwa melayang akibat ingin menyeberangi tembok ini. Kini, setelah tembok Berlin runtuh dan menyatukan kota dan masyarakat Berlin, ada beberapa bagian temboknya yang sengaja dibiarkan sebagai saksi sejarah dan monumen tragedi kemanusiaan yang patut dikenang umat manusia di bumi ini.
Contoh lain, Ground Zero 9/11 di Amerika. Meski lampu sorot yang menembus langit hanya menyala setahun sekali saat peringatan 11 September berlangsung, namun puing-puing reruntuhan dan foto-foto para korban keganasan teroris yang terpampang di Ground Zero, tetap memiliki nilai jual dimata Internasional.
Lalu bagaimana dengan Surabaya? Pemkot bisa memulainya dengan mengelola sebuah paket perjalanan wisata seperti "Refleksi Perjuangan Arek-Arek Suroboyo", mengingat kota ini dikenal dengan perjuangannya melawan tentara Sekutu. Jadi peristiwa perobekan bendera di hotel Yamato (hotel Majapahit) sampai terbunuhnya Jendera Mallaby bukan cuma dinikmati melalui diorama yang ada didalam Tugu Pahlawan, tapi semua peristiwa sejarah itu diwujudkan dalam sebuah paket perjalanan.
Menjadikan 26 Monumen Perjuangan sebagai salah satu daya tarik wisata, mungkin tidaklah terlalu sulit. Karena kenangan yang menyertainya tidak semata-mata milik warga Surabaya, tetapi sudah mendunia menjadi milik orang Belanda, Jepang, sampai Inggris. Tidaklah juga terlalu sulit untuk "menawarkan" objek ini kepada turis, asalkan ada fokus pengelolaan dari Pemkot Surabaya. Bukankah dengan mendatangkan wisatawan ke kota ini, otomatis Pemkot mendapat pemasukan untuk memelihara monumen-monumen tersebut. Datangnya wisatawan, sama juga dengan bertiupnya angin bagi sejarah perjuangan kota ini.
Dipublikasikan di Metropolis Jawapos 28/08/07
Selasa, 28 Agustus 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar