Pencemaran udara di Surabaya semakin hari semakin mengkhawatirkan. Sebagai indikator, adalah perbedaan suhu udara pada siang hari yang sangat panas dengan suhu udara malam hari yang dingin. Suhu siang hari dapat mencapai 39 derajat celsius (atau lebih), sementara saat malam bisa 26 derajat celsius. Memanasnya kota Surabaya pada siang hari, merupakan efek dari tingginya emisi gas buang. Kajian Ekologi Lahan Basah pernah merilis informasi, bahwa karbon monoksida (CO) sebagai gas buangan dari kendaraan bermotor, menyumbang polusi tertinggi dengan jumlah 5.480.000 ton/tahun. Jika merujuk data ini, berarti banyaknya jumlah kendaraan dan macet saat jam berangkat-pulang kantor merupakan salah satu penyebabnya.
Pemakai kendaraan bermotor di Indonesia memang sangat tinggi. Berdasarkan data yang dikeluarkan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), angka penjualan sepanjang Januari hingga Juni 2007 mencapai 197.642 unit. Bila dibandingkan dengan penjualan periode yang sama 2006 yang sebesar 149.632 unit, maka terjadi peningkatan penjualan sebesar 32%. Sebuah angka yang fantastis!
Jika penyumbang polusi di Surabaya adalah emisi gas buang kendaraan bermotor, apakah solusi dalam mengatasi pencemaran udara adalah dengan mengurangi asapnya? Lalu bagaimana caranya?
Mensosialisasikan Peran Sepeda di Masyarakat Dengan Menghapus Stigmanya
Baru-baru ini, tepatnya 09 September 2007, digelar sebuah kampanye yang bertema "Bike to Work Day" yang digelar secara nasional diseluruh Indonesia. Kampanye ini mengajak kita untuk memanfaatkan sepeda sebagai salah satu solusi: mengatasi polusi, menghemat BBM, dan menyehatkan tubuh. Bayangkan jika separuh dari pengguna sepeda motor di Surabaya beralih menggunakan sepeda saat berangkat kantor, berapa liter BBM yang bisa dihemat, berapa banyak polusi udara yang bisa kita kurangi. Apalagi kalau penggunaan sepeda ke kantor ini bukan satu-dua hari, melainkan setiap hari. Surabaya akan terbebas dari polusi, dan bisa menghemat BBM berliter-liter.
Meski konsep dari kampanye ini sangat bermanfaat, tapi tidak gampang membuat masyarakat mencintai sepeda. Apalagi stigma masyarakat terhadap sepeda adalah simbol kemiskinan. Mereka yang menggunakan sepeda, selalu dicap sebagai orang miskin. Miskin karena tidak mampu membeli motor, lalu naik sepeda. Bahkan saking diskriminatifnya, salah seorang teman penggemar sepeda pernah mengeluh karena sulitnya mendapat tempat parkir untuk sepedanya saat hendak belanja di salah satu plasa di Surabaya.
Apa salah orang pergi ke plasa naik sepeda? Di dalam kota Muenster, Jerman, banyak gang yang memang hanya diperuntukkan untuk para pejalan kaki dan para pemancal sepeda. Di gang-gang seperti di Prinzipalmarkt, Roggenmarkt, Salzstrasse, Ludgeristrasse dan gang lainnya yang masuk dalam zona pusat kota adalah zona pejalan kaki dan zona sepeda. Yang datang dengan mobil jangan berharap bisa menikmati tempat-tempat tersebut dari dalam mobil. Semua wajib jalan kaki atau naik sepeda.
Stigma sepeda hanya konsumsi orang miskin harus dihapus. Karena dari sudut pandang nominal, harga sepeda banyak yang jauh lebih tinggi dari motor. Di pasaran bahkan ada sepeda seharga sekitar Rp 60 juta per unit. Industri sepeda juga mengeluarkan model-model baru dengan sentuhan inovasi-inovasi terkini, sehingga nyaman dikendarai. Bahan kerangkanya tidak hanya terbuat dari besi atau campuran baja seperti zaman dulu. Sekarang kerangka sepeda berasal dari bahan-bahan yang eksotis, seperti titanium, aluminium, dan serat karbon. Beratnya lebih ringan, tetapi lebih kuat dibandingkan dengan sepeda-sepeda dulu.
Sebagai gambaran, adalah komunitas MTB Indonesia. Penggemar sepeda gunung atau MTB pada umumnya orang- orang mapan yang mempunyai penghasilan lumayan. Para biker yang masuk dalam kelompok MTB Indonesia umumnya berpendidikan dan berpenghasilan memadai untuk kebutuhan hidupnya. Artinya, sepeda bukan konsumsi orang miskin!
Memfasilitasi Pecinta Sepeda Dengan Jalur Khusus Sepeda
Jumlah penggemar (atau pemilik) sepeda di Indonesia terhitung cukup banyak. Banyak komunitas sepeda bertebaran di berbagai kota. Ada penggemar sepeda gunung, penggemar extreme sport dengan BMX, sampai penggemar sepeda kuno atau sepeda onthel. Meski banyak pecinta sepeda, namun eksistensi mereka belum sepenuhnya bisa dirasakan masyarakat. Komunitas ini biasanya rutin terlihat di akhir pekan seperti Sabtu-Minggu, selebihnya jarang. Bisa jadi karena kesibukan dari anggotanya yang cukup tinggi, atau karena infrastrukstur pendukung yang kurang memadai sehingga anggota komunitas sepeda ini enggan turun ke jalan.
Sebuah contoh kasus adalah rencana dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta yang akan membuat jalur khusus sepeda, kalau animo masyarakat terhadap penggunaan sepeda meningkat. Dari rencana ini kemudian muncul pertanyaan, "Apakah rendahnya animo masyarakat dalam menggunakan sepeda karena tidak didukung infrastruktur? atau sebaliknya, tidak adanya infrastruktur karena tidak terlihatnya animo masyarakat terhadap sepeda? (Sebaiknya jangan bingung, karena pertanyaan ini hampir sama dengan pertanyaan duluan mana telur atau ayam)
Selain Muenster dan Armsterdam, Bogota juga merupakan surga bagi penggemar sepeda. Warga kota ini sangat membanggakan jalur khusus sepeda yang mereka miliki dan akrab disebut Cyclorrutas. Setiap hari Minggu misalnya, sepanjang 153 kilometer jalan raya dijadikan jalur khusus sepeda. Jalanan sepanjang itu tertutup untuk angkutan bermotor dan hanya diperbolehkan untuk pejalan kaki, pesepeda atau peseluncur dengan skateboard dan sepatu roda. Itu belum termasuk jalur khusus sepeda yang telah terbangun sepanjang 270 km. Jalur sepeda sepanjang itu, diklaim sebagai jalur khusus sepeda terpanjang di dunia.
Pemerintah kota Bogota berniat keras mengurangi polusi kotanya dan meningkatkan pengguna kendaraan non-bermotor di kotanya. Upaya ke arah itu dilakukan secara terencana dengan berbagai langkah yang jelas dan sistematis. Salah satunya adalah dengan terciptanya Cyclorrutas atau Jalur khusus sepeda.
Sangat berlebihan memang kalau Surabaya harus meniru Muenster, Armsterdam atau bahkan Bogota. Sangat tidak adil jika memaksa pemerintah kota untuk meniru mereka. Tapi, keberadaan Jalur khusus sepeda di Surabaya memang perlu. Bayangkan, berapa banyak pengguna mobil dan motor yang kesal dijalan, karena ada pengguna sepeda yang tiba-tiba nyelonong. Atau dari sudut pandang pengguna sepeda, sudah berapa banyak dari mereka yang kesal karena dimaki pengguna motor/mobil atas kesalahan yang tidak mereka lakukan.
Kita tidak perlu menjawab pertanyaan klise duluan mana telur atau ayam. Atau memperdebatkan soal perlu tidaknya jalur khusus ini. Kita hanya butuh action pemerintah kota mewujudkan jalur khusus sepeda. Karena dengan adanya jalur ini, secara otomatis akan memunculkan para pengguna sepeda. Dari sini sosialisasi peran sepeda bagi masyarakat bisa terwujud. Semakin banyak para pengguna sepeda, maka sedikit demi sedikit akan terkikis stigma bahwa sepeda hanya konsumsi orang miskin. Bahkan semakin banyak yang memanfaatkan sepeda untuk berangkat ke kantor, bukan sesuatu yang mustahil cita-cita kita untuk mengurangi polusi udara di Surabaya akan tercapai.
dipublikasikan Metropolis Jawapos, 26/09/07
Rabu, 26 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar