Rabu, 10 Oktober 2007

Mencuri Emosi Manusia Lewat Portrait

Foto hanyalah selembar kertas yang bergambar. Medium dua dimensi, tanpa gerak, dan tanpa kata-kata. Lalu bagaimana kita mencuri emosi lewat foto? Gampang! cobalah memotret di genre Portrait

Portrait atau potret merupakan genre tertua dalam dunia fotografi. Bahkan kalau kita telusuri potret dari sudut pandang sejarah lukisan, potret sudah ada sejak era Fir'aun pada 3000 SM. Saat itu, para pelukis sangat gemar menjadikan raja sebagai obyeknya. Dan sang raja-pun juga menikmati hasil karya pelukisnya. Kepala besar, dengan bentuk badan berorot merupakan ciri lukisan potret kala itu.

Pada abad ke 5 SM, pelukis Yunani juga menggemari genre potret. Sama dengan pelukis Mesir, di Yunani mereka juga menggambarkan raja-rajanya lebih indah dari aslinya. Namun saat era Romawi, para pelukis lebih berani memasukkan subyektifitasnya. Di era ini muncullah nama-nama seperti: Da Vinci, bahkan sampai Vincent Van Gogh.

Potret secara definisi hanyalah gambar (atau foto) manusia. Tapi dalam dunia fotografi, seorang fotografer harus bisa mendeskripsikan aura obyek kepada penikmat fotonya. Tidak gambang memang melakukan tugas ini, karena foto potret biasanya cenderung memiliki visualisasi yang itu-itu saja. Setengah badan, tersenyum, atau pose yang kaku.

Tapi disinilah tugas besar fotografer. Mencuri emosi obyek kemudian menceritakannya kepada penikmat foto. Kunci yang harus dipegang adalah: komunikasi. Dengan mengenal karakter obyek potret, maka fotografer akan dapat merekam emosinya. Komunikasi yang paling dasar adalah berbasa-basi dengan calon obyek kita. Sedikit lebih dalam adalah mengetahui namanya atau bahkan pekerjaannya. Menyelami lebih dalam lagi, dengan membaca sifat-sifatnya, bagaimana keluarganya, atau bahkan kita "hidup-bersama" obyek kita dalam sehari atau dua hari.

Sebagai referensi mencuri emosi manusia, kita bisa mencobanya dengan mengamati karya-karya besar fotografer dunia yang sudah dipasang di banyak museum. Sebagai referensi, simak saja karya: Richard Avedon, Arnold Newman, sampai Phil Borges. Dan yang tidak kalah pentingnya, kita wajib membaca cerita dibalik foto-foto mereka. Apa saja yang mereka lakukan, sebelum mencuri emosi obyek foto mereka.

Tidak ada komentar: