Jumat, 30 November 2007

[Basa-Basi]: Katrok Oh Katrok

Menurut kamus jayus bahasa wong ndeso, katrok bermakna: ketinggalan jaman. Mulai dari katrok berpakaian, katrok dalam pergaulan, sampai katrok dibidang teknologi informasi. Nah, yang terakhir ini yang sekarang sedang saya alami, karena saya termasuk orang yang tidak mengikuti perkembangan teknologi. Alasannya, kalau saya ikut-ikutan gaul dibidang IT kayak orang-orang berduit, jelas akan ketinggalan karena modal financial saya yang pas-pasan. Selain itu saya juga berprinsip, bahwa hidup itu harus efisien. Misalnya, kalau kita butuh hape hanya buat nelpon, kenapa harus beli hape berkamera? Toh kualitas gambar yang dihasilkan hape berkamera jauh dari kualitas gambar kamera beneran.

“Mas, dimana-mana orang juga tau kalau beli hape kamera tuh buat gaul. Coba kalau kita nongkrong-nongkrong ama temen-temen, yang bawa hape kamera bisa pamer sana-sini khan? Coba kalau hapenya jadul, model lawas yang bisanya cuman buat nelpon ama sms aja, pasti hapenya disimpen aja dikantong celana,” kata kawan saya tiba-tiba nyerocos nggak jelas.

“Nah itu dia permasalahannya. Apa hape itu diciptakan oleh pembuatnya sebagai sarana gaul?” kata saya nggak mau kalah.

Karena bukan tipikal orang yang suka mengikuti teknologi, otomatis saya juga tidak paham dengan cara download, apa itu bluetooth, sampe fungsi infra red. Beberapa kekatrokan saya ini baru seputar hape, belom memasuki area perkomputeran yang notabene perkembangannya tidak kalah dengan hape.

Saat semua orang kemana-mana bawa laptop, saya cukup bangga memiliki komputer Pentium IV yang sudah bisa buat ketik berita, edit foto, sampai memutar lagu dan film. Alhasil karena saya tidak pengen-pengen amat mengetahui teknologi laptop, saat kawan-kawan pada asik punya laptop saya cuma bisa cuek aja. Suatu saat, disebuah acara sharing foto dengan rekan-rekan sesama fotografer, saya cuma bisa celingak-celinguk diketawain rekan fotografer lain saat tidak bisa mengoperasikan laptop.

“Masa nyalain laptop aja nggak bisa,” kata kawan saya yang rambutnya plontos mulai memperolok saya. Setelah laptop nyala, ternyata penderitaan saya belum berakhir. “Mana mouse-nya?” tanya saya. “Mas, laptop mah nggak pakai mouse juga bisa jalan cursor-nya,” kata si-plontos.

Dari rentetan kejadian yang saya alami tentang IT, mata saya mulai terbuka dan mulai paham, bahwa teknologi diciptakan bukan hanya sebagai fungsinya (seperti hape buat nelpon sama sms), tapi juga berguna sebagai sarana bergaul dan sarana untuk menunjukkan strata sosial seseorang. Orang yang pake hape kamera (biar belinya nyicil pake uang bank) akan dianggap lebih kaya dari orang yang kemana-mana cuma bawa hape yang layarnya belum berwarna dan nada deringnya nggak polyphonic seperti hape saya. Padahal biar nggak berwarna dan nggak polyphonic, hape ini saya beli pake uang sendiri lho. Lagian, kalau harga hape kita nggak mahal-mahal amat, kita nggak perlu repot mem-proteksinya.

“Nggak seperti kawan saya yang punya hape kamera yang kapasitas memorinya sampai 1 Giga. Kalau dikeramaian suka GR, yang katanya banyak orang ngelihatin lah (dikira mau nyolong hapenya), sampai suka sibuk sendiri nyelamatin hapenya kalau kebetulan turun hujan.” Takut kemasukan air katanya.
Selain itu, saya juga nggak pernah khawatir kalau hape saya tiba-tiba jatuh karena tingkah-polah saya yang nggak bisa diem. Coba bayangkan kalau yang punya hape kamera tiba-tiba hapenya jatuh, bisa nangis dua hari dua malam tuh. Apalagi kalau hapenya masih baru dan masih bau toko.

Tidak ada komentar: