Selasa, 04 Desember 2007

PANTASKAH PEDESTRIAN SURABAYA NOMER SATU DI INDONESIA?

"I Love Pedestrian, Beware With Black Hole"
Itulah slogan yang sering muncul diprogram musik VH1, siaran televisi SBO. Diakhir acara, VJ (Video Jockey) yang memandu acara selalu mengatakan: "Hormatilah hak-hak pejalan kaki."

Slogan ini mengingatkan saya pada pedestrian yang ada di Surabaya. Pedestrian yang ada dikota Pahlawan ini, menempati urutan pertama dari 20 pedestrian di 20 kota di Indonesia. Pedestrian ini dinyatakan baik setelah dikunjungi tim Wahana Tata Nugraha (WTN) dari pusat. Dari desain, memang kondisi pedestrian Surabaya cukup layak. Lebar dari pedestrian yang berkisar tiga meter memang sangat nyaman digunakan untuk pejalan kaki. Selain itu, tujuh jalur utama yang masuk dalam master plan pedestrian, yaitu Jl.Basuki Rachmat, Jl.Embong Malang, Jl.Tunjungan, Jl.Panglima Sudirman, Jl Urip Sumoharjo, dan simpang emas Jl.Gubernur Suryo, Jl.Yos Sudarso, sudah bebas dari PKL.

Jika kondisi pedestrian kita sudah diakui oleh tim WTN karena desainnya sangat nyaman untuk pejalan kaki, lalu apa yang kurang?

Saya menjawabnya dengan mencoba berjalan-jalan diatas pedestian kita selama tiga hari ini. Saya mencari tahu, apa yang membuat kita nyaman sebagai pejalan kaki, dan apa yang membuat kita terganggu. Dari aksi jalan-jalan saya itu, ada tiga hal yang menjadi "nilai minus" pedestrian di Surabaya"

Pertama, adalah soal cuaca. Di Surabaya, saat siang hari suhu bisa mencapai titik 36 derajat Celsius. Bayangkan, bagaimana kita bisa menikmati perjalanan, kalau matahari menyengat luar biasa. Di kawasan Tunjungan, pejalan kaki bahkan sulit menemukan pohon. Sebagai tempat berteduh, tentu saja teras gedung-gedung yang berjejer disana. Bandingkan jika kita berjalan di Jl. Endemohen yang teduh dan banyak pohon-pohon berjejer disana.

Kedua, adalah persoalan tata kota. Seandainya di Surabaya tata kotanya sejak awal mengusung konsep sentralistik, maka hal itu akan memudahkan pejalan kaki. Misalnya, dikawasan Basuki Rahmat adalah pusat belanja, jadi semua mall terpusat disana. Mulai mall yang menjual makanan dan pakaian, alat-alat elektronik, sampai yang menjual kendaraan bermotor. Jadi saat masyarakat ingin berbelanja, bisa berbondong-bondong ke tempat ini. Antara mall satu dengan yang lain cukup ditempuh dengan berjalan kaki.

Lalu kawasan Tunjungan, merupakan sentra perbankan dan perhotelan. Di tempat ini bertebaran bank-bank dan hotel-hotel, mulai yang berbintang tiga hingga berbintang lima. Seandainya saya seorang turis, maka setelah puas jalan-jalan di Basuki Rahmat, bisa langsung pulang ke penginapan di Tunjuangan dengan berjalan kaki.

Terakhir, adalah soal keamanan. Karena pedestrian Surabaya minim pejalan kaki, maka faktor keamanan menjadi bahan pertimbangan. Saat sore menjelang, penerangan pedestrian hanya bergantung dari lampu-lampu gedung mall dan perkantoran. Bandingkan dengan pedestrian crosswalk di Jepang. Warganya sangat suka berjalan kaki, dan ramainya pejalan kaki justru memunculkan perasaan aman. Di Surabaya, minimnya pencahayaan dan sepinya pejalan kaki, justru menjadi peluang dalam menjalankan aksi kriminal.

Faktor-faktor lain yang tidak saya temukan untuk mendukung kenyamanan pejalan kaki adalah: tempat duduk. Saat saya menempuh perjalanan dari Kawasan Tunjungan (start didepan Tunjungan Centre) menuju kearah Gubernur Suryo, saya kesulitan menemukan tempat beristirahat, paling tidak untuk meluruskan kaki. Di Singapura, pemerintahnya menyediakan banyak kursi di perbatasan antara jalan dan jalur pedestrian. Para pejalan kaki biasanya memanfaatkannya untuk minum atau merokok. Maklum, merokok di tempat terbuka umum menjadi pilihan utama para perokok, karena di dalam gedung tidak diizinkan merokok.

Rencananya, pada tahun 2008 hingga 2010, Dinas Bina Marga dan Pematusan Pemkot Surabaya akan mempercantik pedestrian kota dan menyulapnya menjadi pedestrian crosswalk. Sesuai namanya, pembangunan ini dilakukan untuk memfasilitasi pejalan-kaki. Bahkan anggaran yang dipersiapkan untuk tahun depan mencapai Rp 10 miliar, dimana sepanjang Jl.Raya Darmo merupakan prioritas pada 2008. Jika pemkot berharap proyek ini benar-benar dimanfaatkan oleh pejalan-kaki, maka faktor-faktor yang saat ini masih mengganggu harus segera dicarikan solusinya. Jangan sampai panasnya Surabaya, jauhnya jarak tempuh tempat satu dengan yang lain, soal keamanan, sampai soal tempat duduk untuk beristirahat, menjadi hal-hal yang terlupakan. Kita ingin, pedestrian kita bukan hanya nomer satu karena bentuk dan keindahannya saja, tapi juga berhasil dinikmati para pejalan kaki.

**telah dipublikasikan di Metropolis Jawa Pos (04/12/07)

Tidak ada komentar: