Jumat, 21 Desember 2007

[Basa-Basi]: Standar Kehidupan Kita Berbeda

Saya tertegun, ketika mata ini menemukan sesosok pria tua yang sedang enjoy dipojokan sebuah toko. Sambil duduk diemperan sebuah toko yang kebetulan tutup itu, pria tua yang saya taksir usianya sekitar 70 tahunan, sedang asik menikmati krupuk. Bukan krupuk yang dibungkus dalam paket plastik dan memiliki bermacam-macam rasa seperti: udang, ikan, dll, tapi krupuk putih biasa yang satu bijinya sekitar dua ratus rupiah.

Saya sangat menikmati pemandangan itu. Sebuah ekspresi yang sangat sulit saya temukan bagi siapapun yang memakan krupuk. Saya melihat kenikmatan yang tiada tara, bagaikan menyantap seekor ayam panggang dengan lalapannya. Lahap sekali ia memakan krupuk yang jumlahnya hanya dua biji tergenggam ditangannya.

Saya tidak ingin mengganggu pria tua itu dengan mendekat dan kemudian bertanya “Kenapa bapak makan krupuknya lahap sekali?” Untuk saat ini saya cuma ingin melihat dari kejahuan saja. Saya jadi ingat kebiasaan waktu kecil dulu. Saya sering ngambek marah-marah ketika ibu saya hanya memasak tahu, tempe, telor, dan sayur lodeh. Padahal, saya sedang ngebet banget makan ayam goreng yang dibumbuhi dengan tepung.

“Kamu ini maunya makan enak terus. Mbok sekali-kali makan yang kayak gini,” kata ibu saya waktu itu.
“Nggak mau…” jawab saya sambil terus merengek. Bahkan ngambek saya waktu itu bisa seharian nggak mau makan. Padahal ibu saya waktu itu sudah membelikan saya ayam goreng.

Bagi pak tua itu, ditengah panasnya matahari Surabaya yang menyengat, disaat perut sudah keroncongan namun uang dikantong tidak cukup untuk membeli nasi bungkus, maka dua buah kerupuk ditambas satu plastik es the manis sudah cukup membuatnya kenyang. Sementara saya dan (mungkin) orang-orang “cukup” lain, memakan tahu-tempe sudah menjadi hal yang menyakitkan.

Setiap manusia memang memiliki ukuran yang berbeda dalam menilai sesuatu. Sesuatu yang tidak mengenakkan bagi saya seperti makan tahu, tempe, telor, dicampur sayur lodeh, mungkin jadi hal yang paling menyenangkan bagi pak tua itu. Mungkin, makan telor hanya bisa dia nikmati pada saat ada rejeki lebih. Padahal rejeki lebih itu belum tentu datang seminggu sekali.

Walau standar hidup manusia itu berbeda-beda, tapi ada baiknya kita selalu melihat kebawah. Dengan melihat kekurangan orang lain, kita bisa lebih bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan selama ini. Namun jika kita memiliki cita-cita, tentu kita wajib memandang keatas. Kesuksesan yang didapat orang lain, bisa menjadi motivasi bagi kita untuk lebih semangat berusaha.
“Makanya mas, kalau dikasi makan tahu-tempe itu mbok ya dimakan. Jangan sok-sok an nggak mau. Awas lho ya kalau sampai tahu-tempe itu demo, trus nolak kalau dimakan sampeyan. Huh bisa kolesterol sampeyan karena kebanyakan makan ayam, daging, sama ikan,” kata temen saya yang berkepala botak panjang lebar menasehati saya.

Tidak ada komentar: